Ini Cara Saya Memahami Takdir



كَتَبَ اللهُ مَقَادِيْرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ

Allah telah menulis takdir makhluk lima puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi. (HR. Muslim No. 2653 dan at-Tirmidzi No. 2156, Ahmad (II/169), Abu Dawud ath-Thayalisi No. 557, dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash Radhiyallahu ‘anhuma)

Dari beberapa bacaan yang saya telusuri, pemahaman tentang takdir cukup bervariasi. Dan saya kira variasi pemahaman tersebut adalah bagian dari takdir pula. Pemahaman seperti apa yang benar, hanya Allah yang tahu secara pasti, karena Dia Maha Mengetahui Segala Sesuatu, baik itu yang nyata maupun yang ghaib. Domain kita saya kira adalah sebatas berikhtiar sungguh-sungguh mentadabburi ayat-ayat-Nya dalam rangka meretas jalan menuju ridha-Nya.

Dengan falsafah dasar seperti di atas, maka harus saya katakan sejak awal bahwa jika pemahaman tentang takdir yang akan saya coba sampaikan dalam tulisan ini ada benarnya, itu sudah pasti dari Allah yang Maha Benar. Dan jika salah, sudah pasti karena keterbatasan saya sebagai makhluk-Nya yang memang sudah ditakdirkan tidak luput dari kekurangan.

Ketika di antara kita terjadi perbedaan pemahaman, khususnya pemahaman terhadap hadits di atas, maka pilihan terbaik adalah mencoba untuk saling memahami sudut pandang, dan jika dibutuhkan diskusi lebih lanjut, kita bisa memilih cara berdiskusi yang santun, cara berdiskusi yang ditopang sepenuhnya oleh ketulusan atau keihklasan kita untuk merekatkan silaturahim sehingga hati kita senantiasa terbasuh oleh aliran rahmat dari sebuah perbedaan yang memang sudah menjadi bagian dari takdir itu sendiri.

Dalam pemahaman saya, ketika hadits di atas menyatakan bahwa Allah telah mencatat takdir makhluk 50 ribu tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi, saya berpikir bahwa itu soal yang sangat enteng bagi Allah. Bukankah “waktu” itu sendiri Dia yang menciptakannya. Bukankah segala dimensi, ukuran, takaran, atau karakteristik tentang waktu itu sendiri ada di tangan-Nya. Bukankah pengetahuan segala sesuatu, yang nyata maupun yang ghaib, yang tampak maupun yang tersembunyi, seluruhnya ada dalam genggaman-Nya? Esensi ini membawa kesadaran kita pada fakta bahwa tidak ada kamus kesulitan bagi-Nya untuk merealisasikan apapun yang dikehendaki-Nya. Hanya dengan “Kun”, maka terjadilah (Fayakun) apa saja yang dikehendaki-Nya:

 إِنَّمَآ أَمْرُهُۥٓ إِذَآ أَرَادَ شَيْـًٔا أَن يَقُولَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ 

Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia. (QS. Yasin: 82)

Pertanyaan yang seringkali mengemuka terkait substansi hadits di awal tulisan ini adalah, jika takdir kita telah ditulis oleh Allah 50 ribu tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi, maka untuk apa kita berikhtiar lagi dalam kehidupan ini? Pertanyaan serupa yang lebih fokus lagi adalah, jika takdir seseorang ada di dalam surga, atau di dalam neraka, telah ditulis oleh Allah 50 ribu tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi, maka untuk kepentingan apa segala upaya yang dilakukan manusia dalam kehidupan ini?

Dari beberapa kitab yang coba saya baca, saya menemukan jawaban yang sangat memuaskan terhadap pertanyaan-pertanyaan seperti di atas. Prof. Dr. Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi, Ulama kontemporer Mesir dalam salah satu bukunya berjudul Al-Qadha wa al-Qadar menyatakan, jika pada kenyataannya nanti seseorang masuk surga, atau sebaliknya masuk neraka misalnya, dan kenyataan tersebut sudah terlebih dahulu ditulis oleh Allah 50 ribu tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi, maka fakta kesesuaian antara takdir yang ditulis oleh Allah dengan kenyataan sesungguhnya yang dialami oleh seseorang, semata-mata menunjukkan wujud kesempurnaan pengetahuan Allah atas segala sesuatu. Dengan kata lain, seseorang masuk surga, atau masuk neraka umpamanya, bukan karena tergiring oleh catatan Allah 50 ribu tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi. Sekali lagi, catatan Allah berupa takdir makhluk 50 ribu tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi adalah sebagian dari gambaran wujud Pengetahuan Allah yang Maha Luas sekaligus Maha Benar. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu.

Prof. Sya’rawi mengemukakan sebuah contoh analogis. Seorang anak suatu ketika disuruh oleh ibunya membeli sabun di warung dekat rumah. Dalam kondisi tanpa hambatan apapun, sang anak seharusnya sudah kembali dari warung 5 menit kemudian, karena jarak antara rumah dengan warung tersebut memang sangat dekat. Tetapi, kenyataannya sang anak tidak kembali dalam tempo 5 menit itu. Sang ibu menunggu. Lima menit berlalu. Sepuluh menit berlalu. Dua puluh menit berlalu. Tiga puluh menit berlalu, tetap saja sang anak belum juga kembali dari warung. Berdasarkan pengetahuan sang ibu terhadap sifat-sifat anaknya, sang ibu kemudian membuat kesimpulan bahwa keterlambatan anaknya kembali ke rumah sangat mungkin disebabkan karena sang anak bertemu dengan temannya lalu mereka asyik bermain sampai lupa kembali ke rumah. Sejam kemudian, barulah sang anak pulang dari warung dengan membawa sabun.

“Nak, beli sabun kok lama sekali. Bukankah warungnya hanya di sebelah rumah?”, tanya sang Ibu

Sang Anak menjawab, “Maafkan saya Ibu, tadi saat saya di warung bertemu dengan teman. Dia mengajak saya bermain dulu”

Nah, kenyataan akhir bahwa sang anak memang benar bertemu dengan temannya kemudian larut dalam keasyikan bermain sehingga lupa untuk kembali secepatnya ke rumah, sama dengan kesimpulan yang dibuat oleh sang ibu. Namun, fakta bahwa sang anak tersebut bertemu dengan kawannya lalu bermain, tidak disebabkan oleh kesimpulan yang dibuat oleh sang ibu. Dengan kata lain, sang anak bertemu dengan kawannya lalu bermain itu bukan karena tergiring oleh kesimpulan yang dibuat oleh sang ibu. Bahwa kesimpulan sang ibu benar, atau sesuai dengan fakta yang terjadi pada sang anak, itu semata-mata karena ketepatan kesimpulan yang dibuat oleh sang ibu atas dasar pengetahuannya terhadap karakter sang anak.

Itu contoh kasus pada manusia yang notabene pengetahuannya sangat terbatas. Pelajaran berharga yang bisa kita ambil dari kasus tersebut adalah, jika pada manusia yang pengetahuannya sangat terbatas sudah bisa membuat kesimpulan yang ternyata sama dengan fakta sesungguhnya yang terjadi, maka dari pintu mana lagi keraguan akan muncul jika Zat Yang Maha Mengetahui Segala Sesuatu telah menulis takdir semua makhluk 50 ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi. Dari pintu mana lagi keraguan akan muncul jika Zat Yang Maha Benar itu sudah menulis takdir makhluk 50 ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi.

Jangankan 50 ribu tahun, satu juta tahun, atau bahkan dalam dimensi waktu yang tak terhingga oleh pengetahuan manusia sekalipun, segala catatan-Nya atas makhluk pasti benar, dan mustahil salah. Lha wong makhluk itu sendiri adalah ciptaan-Nya kok. Lha wong pengetahuan atas segala sesuatu itu ada dalam genggaman-Nya kok. Ka ga mungkin ade yang sulit bagi-Nya, bukan?

Dari struktur pembahasan seperti di atas, saya menarik kesimpulan akhir bahwa apa saja yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya pasti benar, dan mustahil salah. Perkara takdir kita sudah tertulis 50 ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi, serahkan sepenuhnya kepada-Nya yang memang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Fokus perhatian kita bukan pada catatan itu. Terlalu sedikit ilmu kita, dan yang sedikit itupun juga karena pemberian-Nya. Sekali lagi fokus perhatian kita bukan pada catatan itu, melainkan pada ikhtiar kita secara sungguh-sungguh menjalani hidup ini dengan berpedoman hanya pada “Buku Pedoman Hidup” yang telah diwahyukan kepada Rasul-Nya. Shallu ala Muhammad. Gitu aja kok repot. (Pastikan juga sudah membaca tulisan saya yang satu ini: Takdir dan Kekuatan Doa)

0 Response to "Ini Cara Saya Memahami Takdir"

Posting Komentar