Takdir dan Kekuatan Doa



لَا يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلَّا الدُّعَاءُ 

Tidak ada yang dapat menolak takdir kecuali doa. (HR. Tirmidzi/2065)

Tulisan saya sebelumnya berjudul Ini Cara Saya Memahami Takdir memancing sejumlah tanggapan dari para pembaca. Tanggapan tersebut beberapa di antaranya disampaikan di kolom komentar facebook, sementara tanggapan lainnya dalam jumlah yang lebih banyak lagi disampaikan melalui inbox. Saya sangat berterima kasih atas semua masukan yang ada, karena seluruhnya benar-benar memperkaya pemahaman saya terhadap takdir. Tulisan ini saya ikhtiarkan untuk menjadi argumen pelengkap tentang pemahaman dan keyakinan saya terhadap takdir yang saya susun dengan berpedoman pada dalil-dalil yang kokoh yang selama ini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari keyakinan yang menghunjam dalam relung-relung hati saya.

Hadits yang saya kutip di atas, dijelaskan secara komprehensif oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam Majmu Fatawa wa Rasail, bahwa memang doa dapat “merubah” takdir, tetapi harus dipahami sepenuhnya bahwa “perubahan” takdir melalui doa adalah bagian tak terpisahkan dari takdir itu sendiri. Artinya, masih merujuk pemikiran Syaikh Muhammad, ketika kita berdoa jangan pernah menyangka bahwa kita sedang meminta sesuatu yang belum ditetapkan sebelumnya oleh Allah. Sesuatu yang kita panjatkan melalui doa, telah ditetapkan oleh Allah, dan apa yang terjadi atas doa-doa yang kita panjatkan, juga telah ditetapkan sebelumnya. Dengan kata lain, semua sebab telah tertulis, dan semua hal yang terjadi karena sebab itu juga telah tertulis sebelumnya. Dalam sebuah ungkapan dikatakan, pena sudah diangkat, dan lembaran-lembaran sudah kering. Ini semua sangat mudah bagi Allah dengan Ilmu-Nya yang meliputi segala sesuatu.

Subhanallah ... Masya Allah ...

Ketika seseorang berdoa untuk kesembuhan dirinya dan atau orang lain, lalu kenyataannya sembuh, maka sesungguhnya kesembuhan tersebut telah tertulis dengan wasilah kekuatan doa yang juga telah tertulis sebelumnya. Dengan perspektif seperti ini, maka menjadi semakin jelas bahwa kekuatan doa bekerja untuk merubah kondisi kita dari satu jenis takdir menjadi jenis takdir yang lainnya, atas izin Allah. (Sama halnya dengan doa, ikhtiar lainnyapun memiliki karakteristik yang sama dalam kaitan dengan takdir, bahwa ikhtiar dapat “merubah” takdir tetapi “perubahan” itupun juga adalah bagian dari takdir. Suatu ketika, Umar bin Khattab berteduh di bawah tembok, tapi tiba-tiba Umar berpindah ke tempat lain yang diyakini lebih aman setelah melihat tembok itu retak. Umar ditanya, “Apakah Tuan tidak percaya akan takdir Allah?”. Umar menjawab, “Saya sangat percaya pada takdir. Yang saya lakukan adalah ikhtiar menghindari takdir dengan memilih takdir yang lain”).

Sampai di titik ini, saya harus kembali mengatakan bahwa saya sangat terpesona dengan sejumlah isyarat pemaknaan takdir yang telah digariskan dalam Al-Quran:

Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran. (QS. Al-Qamar: 49)

Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. (QS. Al-Furqan: 2)

Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu. (QS. Al-Hijr: 21)

Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah. (QS. Al-Hajj: 70)

Subhanallah ...

Hal krusial yang kemudian harus selalu menjadi penekanan khusus dalam konteks kajian takdir dan kekuatan doa, adalah fakta bahwa doa (sebagaimana pula ikhtiar lainnya) tidak selamanya harus selalu sesuai dengan harapan atau keinginan. Inilah titik kulminasi kesadaran bahwa memang kita adalah makhluk yang terbatas. Terbatas pikiran kita, terbatas kekuatan kita, terbatas harapan kita, dan juga terbatas doa kita. Harap dicatat, bahwa semua keterbatasan itu adalah bagian dari takdir pula. Indahnya Islam, dengan takdir keterbatasan itu, berkat Kasih Sayang Allah kita dituntun melalui Ayat-Ayat-Nya untuk memetik hikmah di balik takdir segala keterbatasan agar kita tidak pernah terputus menerima aliran kebaikan-Nya:

 وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ 


Boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 216)

Subhanallah ... Masya Allah ...

Tak diragukan lagi, takdir segala sesuatu telah ditetapkan. Dan kebaikan takdir tidak didasarkan pada perasaan suka atau tidak suka terhadap takdir yang kita hadapi. Pengetahuan tentang segala sesuatu, termasuk pengetahuan tentang kebaikan takdir, seluruhnya ada di tangan-Nya. Karena itu, untuk “merubah” takdir kita menjadi lebih baik, melalui jalan hidup yang baik, tidak ada pilihan yang lebih baik selain mendekat pada Sumber Segala Kebaikan. Dan, saksikanlah bahwa, mendekat pada Sumber Segala Kebaikan itu adalah inti dari doa atau dzikir. Dan itulah inti segala ikhtiar untuk “merubah” takdir.

Saksikan pula bahwa dalam koridor pemaknaan seperti di atas kita berjumpa dengan sebuah hakikat yang disampaikan oleh Rasulullah SAW bahwa “Addu’a-u silaahul mukminin” (Doa adalah senjata kaum mukminiin). Subhanallah. Allahu Akbar. Shallu 'ala Muhammad.

0 Response to "Takdir dan Kekuatan Doa"

Posting Komentar